Keputusan Setengah Hati
ku tegak di atas panggung aula madrasah negeri
setingkat SMP. Sambil mengguncang-guncang telapak tanganku, Pak Sikumbang,
Kepala Sekolahku memberi selamat karena nilai ujianku termasuk sepuluh yang
tertinggi di Kabupaten Agam. Tepuk tangan murid, orang tua dan guru riuh
mengepung aula. Muka dan kupingku bersemu merah tapi jantungku melonjak-lonjak
girang. Aku tersenyum malu-malu ketika Pak Sikumbang menyorongkan mik ke
mukaku. Dia menunggu. Sambil menunduk aku paksakan bicara. Yang keluar dari
kerongkonganku cuma bisikan lirih yang bergetar karena gugup, “Emmm... terima
kasih banyak Pak... Itu saja...” Suaraku layu tercekat. Tanganku dingin.
Nilaiku adalah tiket untuk mendaftar
ke SMA terbaik di Bukittinggi. Tiga tahun aku ikuti perintah Amak belajar di madrasah
tsanawiyah, sekarang waktunya aku menjadi seperti orang umumnya, masuk
jalur non agama___SMA. Aku bahkan sudah berjanji dengan Randai,
kawan dekatku di madrasah, untuk sama-sama pergi mendaftar ke SMA. Alangkah
bangganya kalau bisa bilang, saya anak SMA Bukittinggi.
Beberapa hari setelah eforia
kelulusan mulai kisut, Amak mengajakku duduk di langkan rumah. Amakku seorang
perempuan berbadan kurus dan mungil. Wajahnya sekurus badannya, dengan sepasang
mata yang bersih yang dinaungi alis tebal. Mukanya selalu mengibarkan senyum ke
siapa saja. Kalau keluer rumah selalu menggunakan baju kurung yang dipadu dengan
kain atau rok panjang. Tidak pernah celana panjang. Kepalanya selalu ditutup
songkok dan di lehernya tergantung selendang. Dia menamatkan SPG bertepatan
dengan pemberontakan G30S, sehingga negara yang sedang kacau tidak mampu segera
mengangkatnya jadi guru. Amak terpaksa menjadi guru sukarela yang hanya dibayar
dengan beras selama 7 tahun, sebelum diangkat menjadi pegawai negeri.
Tidak biasanya, malam ini Amak tidak
mengibarkan senyum. Dia melepaskan kacamata dan menyeka lensa double focus dengan ujung lengan baju.
Amak memandangku lurus-lurus. Tatapan beliau serasa melewati kacamata minusku
dan langsung menembus sampai jiwaku. Di ruang tengah, Ayah duduk di depan
televisi hitam putih 14 inchi. Terdengar suara Sazli Rais yang berat membuka acara
Dunia Dalam Berita TVRI.
“Tentang sekolah waang, Lif...”
“Iya, Mak, besok ambo mendaftar tes ke SMA. Insya Allah,
dengan doa Amak dan Ayah, bisa lulus...”
“Bukan itu maksud Amak...” beliau berhenti
sebentar.
Aku curiga, ini pasti soal biaya
pendaftaran masuk SMA. Amak dan Ayah mungkin sedang tidak punya uang. Baru
beberapa bulan lalu mereka mulai mencicil rumah. Sampai sekarang kami masih
tinggal di rumah kontrakan beratap seng dengan dinding dan lantai kayu.
Amak meneruskan dengan hati-hati.
“Amak mau bercerita dulu, coba
dengarkan...”
Lalu diam sejenak dengan muka rusuh.
Aku menjadi ikut kalut melihatnya.
“Beberapa orang tua menyekolahkan
anak ke sekolah agama karena tidak punya cukup uang. Ongkos masuk madrasah
lebih murah....”
Kecurigaanku benar, ini masalah
biaya. Aku meremas jariku dan menunduk melihat ujung kaki.
“...Tapi lebih banyak lagi yang
mengirim anak ke sekolah agama karena nilai anak-anak mereka tidak cukup untuk
masuk SMP atau SMA...”
“Akibatnya, madrasah menjadi tempat
murid warga kelas dua, sisa-sisa... Coba waang
bayangkan bagaimana kualitas para buya, ustad dan dai tamatan madrasah kita
nanti. Bagaimana mereka akan bisa memimpin umat yang semakin pandai dan kritis?
Bagaimana nasib umat Islam nanti?”
Wajah beliau meradang. Keningnya
berkerut-kerut masygul. Hatiku mulai tidak enak karena tidak mengerti arah
pembicaraan ini.
Amak memang dibesarkan dengan latar
agama yang kuat. Ayahnya atau kakekku yang aku panggil Buya Sutan Mansur adalah
orang alim yang berguru langsung kepada Inyiak
Candungan atau Syekh Sulaiman Ar-Rasuly. Di awal abad kedua puluh, Inyiak Canduang ini berguru ke Mekkah di
bawah asuhan ulama terkenal seperti Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy dan
Syeikh Sayid Babas El-Yamani.
Mata Amak menerawang sebentar.
“Buyuang,
sejak waang masih di kandungan, Amak
selalu punya cita-cita,” mata Amak kembali menatapku.
“Amak ingin anak laki-lakiku menjadi
seorang pemimpin agama yang hebat dengan pengetahuan yang luas. Seperti Buya
Hamka yang sekampung dengan kita itu. Melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, mengajak orang kepada kebaikan dan
meninggalkan kemungkaran,” kata Amak pelan-pelan.
Beliau berhenti sebentar untuk
menarik napas. Aku cuma mendengarkan. Kepalaku kini terasa melayang.
Setelah menenangkan diri sejenak dan
menghela napas panjang, Amak meneruskan dengan suara bergetar.
“Jadi Amak minta dengan sangat waang
tidak masuk SMA. Bukan karena uang tapi supaya ada bibit unggul yang
masuk madrasah aliyah.”
Aku mengejap-ngejap terkejut.
Leherku rasanya layu. Kursi rotan tempat dudukku berderit ketika aku menekurkan
kepala dalam-dalam. SMA___dunia impian yang sudah aku bangun lama di
kepalaku pelan-pelan gemeretak, dan runtuh jadi abu dalam sekejap mata.
Bagiku, tiga tahun di madrasah tsanawiyah rasanya sudah cukup
untuk mempersiapkan dasar ilmu agama. Kini saatnya aku mendalami ilmu non
agama. Tidak madrasah lagi. Aku ingin kuliah di UI, ITB dan terus ke Jerman
seperti Pak Habibie. Kala itu aku menganggap Habibie adalah seperti profesi
tersendiri. Aku ingin menjadi orang yang mengerti teori-teori ilmu modern,
bukan hanya ilmu fiqh dan ilmu hadits. Aku ingin suaraku didengar di depan
civitas akademika, atau dewan gubernur atau rapat manajer, bukan hanya
berceramah di mimbar surau di kampungku. Bagaimana mungkin aku bisa menggapai
berbagai cita-cita besarku ini kalau aku masuk madrasah lagi?
“Tapi Amak, ambo tidak berbakat dengan ilmu agama. Ambo ingin menjadi insinyur dan ahli ekonomi,” tangisku sengit.
Mukaku merah dan mata terasa panas.
“Menjadi pemimpin agama lebih mulia
daripada jadi insinyur, Nak.”
“Waang
anak pandai dan berbakat. Waang akan
jadi pemimpin umat yang besar. Apalagi waang punya darah ulama dari dua
kakekmu.”
“Tapi aku tidak mau.”
“Amak
ingin memberikan anak yang terbaik untuk kepentingan agama. Ini tugas mulia
untuk akhirat.”
“Tapi bukan salah ambo, orang tua lain mengirim anak yang
kurang cadiak masuk madrasah....”
“Pokoknya Amak tidak rela waang masuk SMA!”
“Tapi...”
“Tapi...”
“Tapi...”
Setelah lama berbantah-bantahan, aku
tahu diskusi ini tidak berujung. Pikiran kami jelas sangat berseberangan. Dan
aku di pihak yang kalah.
Tapi aku masih punya harapan. Aku
yakin Ayah dalam posisi 51 persen di pihakku. Ayah berperawakan kecil tapi liat
dengan bahu kokoh. Rambut hitamnya senantiasa mengkilat diminyaki dan disisir
ke samping lalu ujungnya dibelokkan ke belakang. Bentuk rahangnya tegas dan
dahi melebar karena rambut bagian depannya teru menipis. Matanya tenang dan
penyayang.
Walau berprofesi sebagai guru
madrasah___beliau pengajar matematika___seringkali
pendapatnya lain dengan Amak. Misalnya, Ayah percaya untuk berjuang bagi agama,
orang tidak harus masuk madrasah. Dia lebih sering menyebut-nyebut keteladanan
Bung Hatta, Bung Sjahrir, Pak Natsir, atau Haji Agus Salim, dibanding Buya
Hamka. Padahal latar belakang religius ayahku tidak kalah kuat. Ayah dari
ayahku adalah ulama yang terkenal di Minangkabau.
Tapi entah kenapa beliau memilih
menonton televisi hari ini dan tidak ikut duduk bersama Amak membicarakan
sekolahku. Aku buru-buru bangkit dari duduk dan bertanya pada Ayah yang sedang
duduk menonton. Kacamatanya memantulkan berita olahraga dari layar televisi.
Sambil menengadah ke arahku dan mengangkat lensanya sedikit, Ayah menjawab
singkat, “Sudahlah, ikuti saja kata Amak, itu yang terbaik.”
Aku tanpa pembela. Dengan muku
menekur, aku minta izin masuk kamar. Sebelum mereka menyahut, aku telah
membanting pintu dan menguncinya. Badan kulempar terlentang di atas kasur
tipis. Mataku menatap langit-langit. Yang ku lihat hanya gelap, segulita
pikiranku. Di luar terdengar Sazli Rais telah menutup Dunia Dalam Berita.
Kekesalan karena cita-citaku
ditentang Amak ini berbenturan dengan rasa tidak tega melawan kehendak beliau.
Kasih sayang Amaktak terperikan kepadaku dan adik-adik. Walau sibuk mengoreksi
tugas kelasnya, beliau selalu menyediakan waktu; membacakan buku, mendengar
celoteh kami dan menemani belajar.
Belum pernah sebelumnya aku
berbantah-bantahan melawan keinginan Amak sehebat ini. Selama ini aku anak
penurut. Surga di bawah telapak kaki ibu, begitu kata guru madrsah mengingatkan
keutamaan ibu. Tapi ide masuk madrasah meremas hatiku.
Di tengah gelap, aku terus
bertanya-tanya kenapa orang tua harus mengatur-atur anak. Di mana kemerdekaan
anak yang baru belajar punya cita-cita? Kenapa masa depan harus diatur orang
tua? Aku bertekad melawan keinginan Amak dengan gaya diam dan mogok di dalam
kamar gelap. Keluar hanya untuk buang air dan mengambil sepiring nasi untuk
dimakan di kamar lagi.
Sudah tiga hari aku mogok bicara dan
memeram diri. Semua ketukan pintu aku balas dengan kalimat pendek, “sedang
tidur”. Dalam hati aku berharap Amak berubah pikiran melihat kondisi anak
bujangnya yang terus mengurung diri ini. Amak memang berusaha menjinakkan
perasaanku dengan mengajak bicara dari balik pintu. Suaranya cemas dan sedih.
Tapi tiga hari berlalu, tidak ada tanda-tanda keinginan keras Amak goyah. Tidak
ada tawaran yang berbeda tentang sekolah, yang ada hanya himbauan untuk tidak
mengunci diri.
Sore itu pintu kayu kamar diketuk
dua kali. “Nak, ada surat dari Pak Etek Gindo,” kata Amak sambil mengangsurkan
sebuah amplop di bawah daun pintu. Pak Etek sedang belajar di Mesir dan kami
seling berkirim surat. Dua bulan lalu aku menulis surat, mengabarkan akan
menghadapi ujian akhir dan ingin melanjutkan ke SMA.
Aku baca surat Pak Etek Gindo dengan
penerangan sinar matahari yang menyelinap dari sela-sela dinding kayu. Dia
mendoakan aku lulus dengan baik dan memberi sebuah usul.
“...Pak Etek punya banyak teman di
Mesir yang lulusan Pondok Madani di Jawa Timur. Mereka pintar-pintar, bahasa
Inggris dan bahasa Arabnya fasih. Di Madani itu mereka tinggal di asrama dan
diajar disiplin untuk bisa bahasa asing setiap hari. Kalau tertarik, mungkin
sekolah ke sana bisa jadi pertimbangan...”
Aku termenung sejenak membaca surat
ini. Aku ulang-ulang membaca usul ini dengan suara berbisik. Usul ini sama saja
dengan masuk sekolah agama juga. Bedanya, merantau jauh ke Jawa dan mempelajari
bahasa dunia cukup menarik hatiku. Aku berpikir-pikir, kalau akhirnya aku tetap
harus masuk sekolah agama, aku tidak mau madrasah di Sumatera Barat. Sekalian
saja masuk pondok di Jawa yang jauh dari keluarga. Ya betul, Pondok Madani bisa
jadi jalan keluar ketidakjelasan ini.
Tidak jelas benar dalam pikiranku,
seperti apa Pondok Madani itu. Walau begitu, akhirnya aku putuskan nasibku
dengan setengah hati. Tepat di hari keempat, aku putar gagang pintu. Engselnya
yang kurang minyak berderik. Aku keluar dari kamar gelapku. Mataku
mengerjap-ngerjap melawan silau.
“Amak, kalau memang harus sekolah
agama, ambo ingin masuk pondok saja
di Jawa. Tidak mau di Bukittinggi atau Padang,” kataku di mulut pintu. Suara
cempreng pubertasku memecah keheningan Minggu pagi itu.
Amak yang sedang menyiram pot bunga
suplir di ruang tamu ternganga kaget. Ceret airnya miring dan menyerakkan air
di lantai kayu. Ayah yang biasa hanya melirik sekilas dari balik koran Haluan, kali ini menurunkan koran dan
melipatnya cepat-cepat. Dia mengangkat telunjuk ke atas tanpa suara, menyuruhku
menunggu. Mereka berdua duduk berbisik-bisik sambil ekor mata mereka melihatku
yang masih mematung di depan pintu kamar. Hanya sas-ses-sis-sus yang bisa kudengar.
“Sudah waang pikir masak-masak?” tanya ayahku dengan mata gurunya yang
menyelidik. Ayahku jarang bicara, tapi sekali berbicara adalah sabda dan
perintah.
“Sudah Yah,” suara aku coba
tegas-tegaskan
“Pikirkanlah lagi baik-baik,” kata
Amak dengan tidak berkedip.
“Sudah Mak,” kataku mengulangi
jawaban yang sama.
Ayah dan Amak mengangguk dan mereka
kembali berdiskusi dengan suara rendah. Setelah beberapa saat, Ayah akhirnya
angkat bicara.
“Kalau itu memang maumu, kami lepas
waang dengan berat hati.”
Bukannya gembira, tapi ada rasa
nyeri yang aneh bersekutu di dadaku mendengar persetujuan mereka. Ini jelas bukan
pilihan utamaku. Bahkan sesungguhnya aku sendiri belum yakin betul dengan
keputusan ini. Ini keputusan setengah hati.