Minggu, 28 Oktober 2012

MiniLyric Downloader



    MiniLyric downloader ialah software untuk kita mengetahui lirik lirik lagu yang lagu anda putar, dan agar kita tidak lupa  dengan lirik yang kita sedang nyayikan. Ini adalah software dari iPod apple namun di platform lain kita bisa gunakan software ini dengan mudah. Adapun cara lain untuk menampilkan lirik di software MiniLyric ini dengan cara , pilih lagu dan drag lirik yang ada di dalam computer anda, take easy kan.

 dan skin bisa di ganti - gant menurut selera anda di sini saya menampilkan skin dari apple sendiri agar keliatana beda hehe...dan bisa support di media lainya contohnya ; VLC , Windows Media Player dan Winamp dll.



skin yang terdapat dalam software MiniLyric

disini saya mendengarkan lagu dari THE USED agar tidak salah lirik lagu itu saya menggunaan software ini,. biar simple dan ga buka media lainya,. hehhehe

cara Install 

1. Install Minilyric downloder
2. Copy dan paste file loader ke folder dimana anda menginstall Minilyric
3. Jalankan loader -> sukses
4. Jalankan winamp atau player yg anda gunakan.
5. Biarkan loader beker, sampai muncul pesan running.


download di sini

Jumat, 26 Oktober 2012

Novel Keputusan Setengah Hati



Keputusan Setengah Hati

A
 ku tegak di atas panggung aula madrasah negeri setingkat SMP. Sambil mengguncang-guncang telapak tanganku, Pak Sikumbang, Kepala Sekolahku memberi selamat karena nilai ujianku termasuk sepuluh yang tertinggi di Kabupaten Agam. Tepuk tangan murid, orang tua dan guru riuh mengepung aula. Muka dan kupingku bersemu merah tapi jantungku melonjak-lonjak girang. Aku tersenyum malu-malu ketika Pak Sikumbang menyorongkan mik ke mukaku. Dia menunggu. Sambil menunduk aku paksakan bicara. Yang keluar dari kerongkonganku cuma bisikan lirih yang bergetar karena gugup, “Emmm... terima kasih banyak Pak... Itu saja...” Suaraku layu tercekat. Tanganku dingin.
            Nilaiku adalah tiket untuk mendaftar ke SMA terbaik di Bukittinggi. Tiga tahun aku ikuti perintah Amak  belajar di madrasah tsanawiyah, sekarang waktunya aku menjadi seperti orang umumnya, masuk jalur non agama___SMA. Aku bahkan sudah berjanji dengan Randai, kawan dekatku di madrasah, untuk sama-sama pergi mendaftar ke SMA. Alangkah bangganya kalau bisa bilang, saya anak SMA Bukittinggi.
            Beberapa hari setelah eforia kelulusan mulai kisut, Amak mengajakku duduk di langkan rumah. Amakku seorang perempuan berbadan kurus dan mungil. Wajahnya sekurus badannya, dengan sepasang mata yang bersih yang dinaungi alis tebal. Mukanya selalu mengibarkan senyum ke siapa saja. Kalau keluer rumah selalu menggunakan baju kurung yang dipadu dengan kain atau rok panjang. Tidak pernah celana panjang. Kepalanya selalu ditutup songkok dan di lehernya tergantung selendang. Dia menamatkan SPG bertepatan dengan pemberontakan G30S, sehingga negara yang sedang kacau tidak mampu segera mengangkatnya jadi guru. Amak terpaksa menjadi guru sukarela yang hanya dibayar dengan beras selama 7 tahun, sebelum diangkat menjadi pegawai negeri.
            Tidak biasanya, malam ini Amak tidak mengibarkan senyum. Dia melepaskan kacamata dan menyeka lensa double focus dengan ujung lengan baju. Amak memandangku lurus-lurus. Tatapan beliau serasa melewati kacamata minusku dan langsung menembus sampai jiwaku. Di ruang tengah, Ayah duduk di depan televisi hitam putih 14 inchi. Terdengar suara Sazli Rais yang berat membuka acara Dunia Dalam Berita TVRI.
            “Tentang sekolah waang, Lif...”
            “Iya, Mak, besok ambo mendaftar tes ke SMA. Insya Allah, dengan doa Amak dan Ayah, bisa lulus...”
            “Bukan itu maksud Amak...” beliau berhenti sebentar.
            Aku curiga, ini pasti soal biaya pendaftaran masuk SMA. Amak dan Ayah mungkin sedang tidak punya uang. Baru beberapa bulan lalu mereka mulai mencicil rumah. Sampai sekarang kami masih tinggal di rumah kontrakan beratap seng dengan dinding dan lantai kayu.
            Amak meneruskan dengan hati-hati.
            “Amak mau bercerita dulu, coba dengarkan...”
            Lalu diam sejenak dengan muka rusuh. Aku menjadi ikut kalut melihatnya.
            “Beberapa orang tua menyekolahkan anak ke sekolah agama karena tidak punya cukup uang. Ongkos masuk madrasah lebih murah....”
            Kecurigaanku benar, ini masalah biaya. Aku meremas jariku dan menunduk melihat ujung kaki.
            “...Tapi lebih banyak lagi yang mengirim anak ke sekolah agama karena nilai anak-anak mereka tidak cukup untuk masuk SMP atau SMA...”
            “Akibatnya, madrasah menjadi tempat murid warga kelas dua, sisa-sisa... Coba waang bayangkan bagaimana kualitas para buya, ustad dan dai tamatan madrasah kita nanti. Bagaimana mereka akan bisa memimpin umat yang semakin pandai dan kritis? Bagaimana nasib umat Islam nanti?”
            Wajah beliau meradang. Keningnya berkerut-kerut masygul. Hatiku mulai tidak enak karena tidak mengerti arah pembicaraan ini.
            Amak memang dibesarkan dengan latar agama yang kuat. Ayahnya atau kakekku yang aku panggil Buya Sutan Mansur adalah orang alim yang berguru langsung kepada Inyiak Candungan atau Syekh Sulaiman Ar-Rasuly. Di awal abad kedua puluh, Inyiak Canduang ini berguru ke Mekkah di bawah asuhan ulama terkenal seperti Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy dan Syeikh Sayid Babas El-Yamani.
            Mata Amak menerawang sebentar.
            Buyuang, sejak waang masih di kandungan, Amak selalu punya cita-cita,” mata Amak kembali menatapku.
            “Amak ingin anak laki-lakiku menjadi seorang pemimpin agama yang hebat dengan pengetahuan yang luas. Seperti Buya Hamka yang sekampung dengan kita itu. Melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, mengajak orang kepada kebaikan dan meninggalkan kemungkaran,” kata Amak pelan-pelan.
            Beliau berhenti sebentar untuk menarik napas. Aku cuma mendengarkan. Kepalaku kini terasa melayang.
            Setelah menenangkan diri sejenak dan menghela napas panjang, Amak meneruskan dengan suara bergetar.
            “Jadi Amak minta dengan sangat waang  tidak masuk SMA. Bukan karena uang tapi supaya ada bibit unggul yang masuk madrasah aliyah.”
            Aku mengejap-ngejap terkejut. Leherku rasanya layu. Kursi rotan tempat dudukku berderit ketika aku menekurkan kepala dalam-dalam. SMA___dunia impian yang sudah aku bangun lama di kepalaku pelan-pelan gemeretak, dan runtuh jadi abu dalam sekejap mata. 
            Bagiku, tiga tahun di madrasah tsanawiyah rasanya sudah cukup untuk mempersiapkan dasar ilmu agama. Kini saatnya aku mendalami ilmu non agama. Tidak madrasah lagi. Aku ingin kuliah di UI, ITB dan terus ke Jerman seperti Pak Habibie. Kala itu aku menganggap Habibie adalah seperti profesi tersendiri. Aku ingin menjadi orang yang mengerti teori-teori ilmu modern, bukan hanya ilmu fiqh dan ilmu hadits. Aku ingin suaraku didengar di depan civitas akademika, atau dewan gubernur atau rapat manajer, bukan hanya berceramah di mimbar surau di kampungku. Bagaimana mungkin aku bisa menggapai berbagai cita-cita besarku ini kalau aku masuk madrasah lagi?
            “Tapi Amak, ambo tidak berbakat dengan ilmu agama. Ambo ingin menjadi insinyur dan ahli ekonomi,” tangisku sengit. Mukaku merah dan mata terasa panas.
            “Menjadi pemimpin agama lebih mulia daripada jadi insinyur, Nak.”
            Waang anak pandai dan berbakat. Waang akan jadi pemimpin umat yang besar. Apalagi waang punya darah ulama dari dua kakekmu.”
            “Tapi aku tidak mau.”
            Amak ingin memberikan anak yang terbaik untuk kepentingan agama. Ini tugas mulia untuk akhirat.”
            “Tapi bukan salah ambo, orang tua lain mengirim anak yang kurang cadiak masuk madrasah....”
            “Pokoknya Amak tidak rela waang masuk SMA!”
            “Tapi...”
            “Tapi...”
            “Tapi...”
            Setelah lama berbantah-bantahan, aku tahu diskusi ini tidak berujung. Pikiran kami jelas sangat berseberangan. Dan aku di pihak yang kalah.
            Tapi aku masih punya harapan. Aku yakin Ayah dalam posisi 51 persen di pihakku. Ayah berperawakan kecil tapi liat dengan bahu kokoh. Rambut hitamnya senantiasa mengkilat diminyaki dan disisir ke samping lalu ujungnya dibelokkan ke belakang. Bentuk rahangnya tegas dan dahi melebar karena rambut bagian depannya teru menipis. Matanya tenang dan penyayang.
            Walau berprofesi sebagai guru madrasah___beliau pengajar matematika___seringkali pendapatnya lain dengan Amak. Misalnya, Ayah percaya untuk berjuang bagi agama, orang tidak harus masuk madrasah. Dia lebih sering menyebut-nyebut keteladanan Bung Hatta, Bung Sjahrir, Pak Natsir, atau Haji Agus Salim, dibanding Buya Hamka. Padahal latar belakang religius ayahku tidak kalah kuat. Ayah dari ayahku adalah ulama yang terkenal di Minangkabau.
            Tapi entah kenapa beliau memilih menonton televisi hari ini dan tidak ikut duduk bersama Amak membicarakan sekolahku. Aku buru-buru bangkit dari duduk dan bertanya pada Ayah yang sedang duduk menonton. Kacamatanya memantulkan berita olahraga dari layar televisi. Sambil menengadah ke arahku dan mengangkat lensanya sedikit, Ayah menjawab singkat, “Sudahlah, ikuti saja kata Amak, itu yang terbaik.”
            Aku tanpa pembela. Dengan muku menekur, aku minta izin masuk kamar. Sebelum mereka menyahut, aku telah membanting pintu dan menguncinya. Badan kulempar terlentang di atas kasur tipis. Mataku menatap langit-langit. Yang ku lihat hanya gelap, segulita pikiranku. Di luar terdengar Sazli Rais telah menutup Dunia Dalam Berita.
            Kekesalan karena cita-citaku ditentang Amak ini berbenturan dengan rasa tidak tega melawan kehendak beliau. Kasih sayang Amaktak terperikan kepadaku dan adik-adik. Walau sibuk mengoreksi tugas kelasnya, beliau selalu menyediakan waktu; membacakan buku, mendengar celoteh kami dan menemani belajar.
            Belum pernah sebelumnya aku berbantah-bantahan melawan keinginan Amak sehebat ini. Selama ini aku anak penurut. Surga di bawah telapak kaki ibu, begitu kata guru madrsah mengingatkan keutamaan ibu. Tapi ide masuk madrasah meremas hatiku.
            Di tengah gelap, aku terus bertanya-tanya kenapa orang tua harus mengatur-atur anak. Di mana kemerdekaan anak yang baru belajar punya cita-cita? Kenapa masa depan harus diatur orang tua? Aku bertekad melawan keinginan Amak dengan gaya diam dan mogok di dalam kamar gelap. Keluar hanya untuk buang air dan mengambil sepiring nasi untuk dimakan di kamar lagi.
            Sudah tiga hari aku mogok bicara dan memeram diri. Semua ketukan pintu aku balas dengan kalimat pendek, “sedang tidur”. Dalam hati aku berharap Amak berubah pikiran melihat kondisi anak bujangnya yang terus mengurung diri ini. Amak memang berusaha menjinakkan perasaanku dengan mengajak bicara dari balik pintu. Suaranya cemas dan sedih. Tapi tiga hari berlalu, tidak ada tanda-tanda keinginan keras Amak goyah. Tidak ada tawaran yang berbeda tentang sekolah, yang ada hanya himbauan untuk tidak mengunci diri.
            Sore itu pintu kayu kamar diketuk dua kali. “Nak, ada surat dari Pak Etek Gindo,” kata Amak sambil mengangsurkan sebuah amplop di bawah daun pintu. Pak Etek sedang belajar di Mesir dan kami seling berkirim surat. Dua bulan lalu aku menulis surat, mengabarkan akan menghadapi ujian akhir dan ingin melanjutkan ke SMA.
            Aku baca surat Pak Etek Gindo dengan penerangan sinar matahari yang menyelinap dari sela-sela dinding kayu. Dia mendoakan aku lulus dengan baik dan memberi sebuah usul.
            “...Pak Etek punya banyak teman di Mesir yang lulusan Pondok Madani di Jawa Timur. Mereka pintar-pintar, bahasa Inggris dan bahasa Arabnya fasih. Di Madani itu mereka tinggal di asrama dan diajar disiplin untuk bisa bahasa asing setiap hari. Kalau tertarik, mungkin sekolah ke sana bisa jadi pertimbangan...”
            Aku termenung sejenak membaca surat ini. Aku ulang-ulang membaca usul ini dengan suara berbisik. Usul ini sama saja dengan masuk sekolah agama juga. Bedanya, merantau jauh ke Jawa dan mempelajari bahasa dunia cukup menarik hatiku. Aku berpikir-pikir, kalau akhirnya aku tetap harus masuk sekolah agama, aku tidak mau madrasah di Sumatera Barat. Sekalian saja masuk pondok di Jawa yang jauh dari keluarga. Ya betul, Pondok Madani bisa jadi jalan keluar ketidakjelasan ini.
            Tidak jelas benar dalam pikiranku, seperti apa Pondok Madani itu. Walau begitu, akhirnya aku putuskan nasibku dengan setengah hati. Tepat di hari keempat, aku putar gagang pintu. Engselnya yang kurang minyak berderik. Aku keluar dari kamar gelapku. Mataku mengerjap-ngerjap melawan silau.
            “Amak, kalau memang harus sekolah agama, ambo ingin masuk pondok saja di Jawa. Tidak mau di Bukittinggi atau Padang,” kataku di mulut pintu. Suara cempreng pubertasku memecah keheningan Minggu pagi itu.
            Amak yang sedang menyiram pot bunga suplir di ruang tamu ternganga kaget. Ceret airnya miring dan menyerakkan air di lantai kayu. Ayah yang biasa hanya melirik sekilas dari balik koran Haluan, kali ini menurunkan koran dan melipatnya cepat-cepat. Dia mengangkat telunjuk ke atas tanpa suara, menyuruhku menunggu. Mereka berdua duduk berbisik-bisik sambil ekor mata mereka melihatku yang masih mematung di depan pintu kamar. Hanya sas-ses-sis-sus yang bisa kudengar.
            “Sudah waang pikir masak-masak?” tanya ayahku dengan mata gurunya yang menyelidik. Ayahku jarang bicara, tapi sekali berbicara adalah sabda dan perintah.
            “Sudah Yah,” suara aku coba tegas-tegaskan
            “Pikirkanlah lagi baik-baik,” kata Amak dengan tidak berkedip.
            “Sudah Mak,” kataku mengulangi jawaban yang sama.
            Ayah dan Amak mengangguk dan mereka kembali berdiskusi dengan suara rendah. Setelah beberapa saat, Ayah akhirnya angkat bicara.
            “Kalau itu memang maumu, kami lepas waang dengan berat hati.”
            Bukannya gembira, tapi ada rasa nyeri yang aneh bersekutu di dadaku mendengar persetujuan mereka. Ini jelas bukan pilihan utamaku. Bahkan sesungguhnya aku sendiri belum yakin betul dengan keputusan ini. Ini keputusan setengah hati.

WirelessKeyView v1.36



Pada kesempatan kali ini saya akan share Bagaimana cara mengetahui password wifi yang tersimpan dilaptop/komputer  jika kita lupa?? Pengen tahu caranya?? Ciyusss??? Miapa….??hhehe.

langsung aja deh nih Sebenarnya banyak cara yang bisa kita lakukan jikan kita lupa dengan password login wifi. Kita bisa login ke router wifi tersebut via browser. tapi password login ke router saya juga lupa atau saya bukan admin jaringannya?? Reset aja routernya sob, semua akan kembali ke pengaturan  aslinya (default).

Cara di atas ialah hanya salah satu yang bisa kita gunakan, namun kurang efisien pastinya. Cara yang paling mudah dan tidak ribet ialah menggunakan aplikasi yang bernama WirelessKeyViewv1.36. Kita hanya perlu menjalankan WirelessKeyViewv1.36, nanti akan muncul network name beserta password wifi baik berupa hex atau ASCII.



contoh yang ada di laptop ane bro.
download software di sini.

Kamis, 25 Oktober 2012

Windows 7 DreamScene



Apa sih Windows 7 DreamScene itu ???
 
Nah ibas jelasin nih software ini berfungsi sebagai menampilkan sebuah video yg berada di dekstop. Tapi video yang ingin di tampilkan ber extensi .wma nah cara gunain software ini adalah install dulu  applikasi ini dan akan muncul  gambar seperti di bawah ini,
 



Kalian enable  dan pilih video yg berextensi    . wma dan klik kanan video  kamu pilih set  as dekstop background. Lalu kalian liat di desktop anda.

DreamScene video's



Ini  ibas print screen gambar nya. Maaf sebenernya ini gerak cuman ibas print screen jadi JPG deh hehhe.

download disini :